6.28.2016

Kekecewaan itu memanggil namaku

Hari ini bukanlah hari penantian, hari ini, bukan hari yang paling ku tunggu. Karena menurutku semua hari sama saja, sama-sama menuntunku untuk mencoba menjalankan kaki-kakiku. Membuat keduanya melangkah beriringan dengan sukarela ataupun terpaksa. Hari ini aku tidak benar-benar mengikuti kata hatiku, sesuangguhnya aku menolak, menolak karena terlalu lelah berjalan. Sampai kapan aku harus menarik pasrah kaki-kaki itu?
Terlanjur aku berpijak pada tanah basah, berpegang pada pilar yang rapuh. Tanah yang basah karena air mataku sendiri. Pilar yang rentan karena tanganku yang begitu gemetar saat nama-nama itu kembali terlintas di benakku.
Kalau boleh aku kembali, aku akan berlari pulang, meskipun tak mampu berucap sepatah kata pun, setidaknya aku kini sudah mengerti jalan mana yang seharusnya ku pilih. Kalau bisa aku menoleh, aku akan berpaling menjauh...
Kini aku berhenti, dibawah rinai hujan tanpa atap yang menutupi. Dibawah desir angin yang memaksaku untuk meredam segala perih yang membusukkan tulangku. Aku menetap diam, seolah hujan mengerti, seberapa lelah aku melangkah, seberapa lama aku telah berdiri tegak.
Aku meringkuk di bawah hujan, menggigil kedinginan. Tak ada tempat kembali, tak kuasa jika aku berusaha untuk berlari.
Kalau saja dulu aku tidak tenggelam dalam egoku, tentu nama-nama itu tidak akan berusaha memanggilku, tak akan menarik kembali kehadiranku. Mereka seperti berteriak meminta pertanggungjawabanku. Mereka menginginkanku untuk membalas apa yang telah ku lakukan, merasakan kepahitan yang sama. Merasakan sakit yang terlalu hina.
Aku yang terlalu mempermainkan mereka.