12.31.2014

Somehow

Semua teriakan itu, kini menjadi senandung indah yang ingin selalu aku lantunkan. Semua tangis itu, kini menjadi ungkapan haru bahagia yang terlihat. Jerit sakit yang selalu terdengar dulu, kini menjadi ungkapan manis yang sangat aku dambakan. Semua kenangan menyedihkan, kini menjadi sesuatu yang ditunggu untuk hadir kembali.
Saat aku terdiam, musik itu terdengar begitu merdu. Mengalun bening, halus, dan damai. Seperti mengerti apa yang sedang ku rasakan meskipun tak mampu memberikan yang aku inginkan. Mendorongku untuk mencoba bangkit dari  keterpurukan yang baru saja menghempasku jatuh dari ketinggian.
Bangkit, ya aku memang bangkit, setelah bertahun-tahun terdiam mendengarkan tanpa mampu berkata.
Egois? 
Entahlah, aku bahkan tak mengerti apa sebenarnya arti egois.
Aku yang pernah dikadung cinta. Tertatih mempertahankan apa yang cinta ingin. Menangis, karena tak sanggup memenuhi impian cinta. Aku marah, bukan pada cinta, tapi pada aku yang begitu mudahnya menyerah. Saat cinta yang ku dapat seolah berkata bahwa ialah yang memberiku semangat untuk hidup.
Aku yang pernah percaya cinta. Menikmati setiap detik bersamanya. Menunggu waktu tanpa mau menghabiskannya. Ya, hanya ingin bersama. Tak mau terpisah.
Aku yang pernah berkata cinta. Diam termenung saat ditanya, apa itu cinta?
Akupun hanya bisa menjawab dengan pertanyaan lain. Apa cinta perlu dijelaskan? Apa cinta perlu jawaban?
Aku bahkan tak mengerti. Aku hanya merasakannya tanpa tau rasa apa itu sebenarnya.
Munafik? 
Entahlah, aku tak pernah merasa seperti itu. Mungkin, kini aku bisa dibilang egois. Tapi apa membicarakan kebenaran tentang diri sendiri saja tidak boleh? Aturan siapa? Siapa yang sebenarnya munafik? Aku hanya merasakan cinta, bukan ingin dihina dengannya.
Aku yang pernah bersamanya. Berbagi suka, duka, cerita, hampa, tawa, tangis, bahagia. Banyak, banyak hal yang kita lakukan bersama. Banyak, banyak tawa yang kita bagi bersama. Banyak, banyak kenangan pahit yang seakan sengaja terlupa. Aku hanya merasakan cinta.
Bodoh, ya, aku memanglah bodoh. Kebodohan sejati. Yang melakukan semua itu seorang diri. Ya, aku bodoh.
Ketika dikadung cinta, mataku terlalu rapat tertutup. Hatiku terlalu lemah untuk menebak dan menduga. Dengan siapa aku mencinta? Dengannya? Atau dengan ucapannya? Atau malah hanya karena aku memanglah bodoh? 
Ketika percaya dengan cinta. Aku menutup telinga. Aku mengabaikan setiap detak jeritannya. Aku tak mempedulikan setiap inchi pikiranku yang terluka karena tidak diperhatikan. Terlalu percaya, sehingga maaf pun seakan mudah terucap menghapus segala duka yang meluap. Mendiamkan kenangan pahit yang pernah dengan baik menyapaku kembali.
Ketika mengatakan cinta. Aku tak sedikitpun bergerak. Bahkan, bangun dari mimpi buruk pun aku tak mampu. 
Bagaimana bisa semua itu aku lakukan, hanya karena cinta?

Kecewa sudah bukan lagi hal yang istimewa. Sudah bukan hal penting yang harus dirahasiakan. Bahkan kecewa sering kali terdengar polos tanpa ada ungkapan lain yang menutupinya.
"Aku kecewa"
Entah, berapa kali, seberapa lama aku harus mengatakannya.
"Aku benar-benar kecewa"
Entah, seberapa kuat aku harus meyakinkannya.
"Aku bahkan akan menangis karena kecewa"
Entah, perasaan apa lagi yang harus ikut campur dengan menghentikan kemarahannya.
"Aku... aku terluka... aku kecewa"
Entah, kata apalagi yang harus ku ucap. Saat aku benar-benar berduka karena kecewa.

Saat aku mencoba untuk kembali percaya, saat semua pintu hati terbuka dengan indahnya. Cinta kembali datang, dengan perasaan yang sama seperti dulu. Namun, dengan kecewa yang berusaha dilupakan.

Aku dan kau berpikir bahwa ini akan berhasil. Bahkan kita melakukan hal yang kita impikan dulu. Saat kecewa itu belum ada. Sesaat, hatiku memang menerimanya. Itikad baik yang ku puja dengan seksama. Namun, logika selalu bertindak semena-mena. Menghentakku dari segala kebahagiaan yang kembali kita buat. Menyudutkanku untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Aku berontak. Aku tak suka dengan semua ini. Aku percaya dengannya. Aku.. aku percaya dengan apa yang dikatakannya.
"Apa kau tak ingat?"
Sekali lagi, logika mendorongku. Kini mendorong begitu keras. Mengulas kembali masa itu. Menyeretku dalam kepahitan dimasa itu.
"Apa kau tak ingat? Saat kau berkata kau mempercayainya? Apa kau tak mendengar  jerit sakit yang saat itu berusaha menyita perhatianmu? Apa kau tak merasakan degup kencang yang hatimu buat agar kau menyambutnya untuk memperdulikannya? Mendengarkannya berbicara?"
Logika itu menggertak begitu tajam. Menggetarkan ruas ruas cinta yang hampir terbentuk kembali. Seketika runtuh rata dengan kenangan yang ku buat untuk seolah menghilang.
Jutaan klise-klise lama tentangnya dulu kembali terekam diingatanku. Sedikit menjauhkanku dengannya. Menjadikan jarak yang sempurna.

Aku kini sadar, terlalu mudah ia mengatakan cinta. Tanpa rintangan, tanpa ingatan untuk kembali tergores luka. Ia tak benar benar mempedulikannya. Ia hanya sekedar mengumbar kata dan dengan bodohnya aku menganggap itu cinta yang sempurna. Cinta yang datang karena ingin mengobati luka. Cinta yang tak hanya merasa bersalah, tapi ingin menghalau kata salah untuk kesekian kalinya.
Kini aku tau, apa itu cinta sebenarnya.

Cinta itu tidak ada.
Tidak ada saat kau mencoba menghentikannya.
Tidak ada saat kau berusaha memanggilnya.
Tidak ada saat dua orang berhenti berbicara.
Tidak ada saat kau mencoba memikirkannya.

Karena cinta tak bisa dihentikan, cinta tak perlu dipanggil. Cinta tak butuh kata-kata dan ada sekalipun kau tidak mempedulikannya.

No comments:

Post a Comment