Seseorang kini telah berpaling, dari sebuah harapan yang tak kunjung ia gapai. Dari setiap sapaan yang tak lagi ia hiraukan. Bukan ia yang tak bisa menjangkau harapan, bukan ia pula yang mengabaikan ribuan bahkan jutaan sapa dunia. Ia memang mulai sadar, sadar untuk berhenti menghakimi harapan yang hanya terlintas dan tak untuk ia capai. Sebuah tujuan yang tak pernah pantas ia tuju.
Begitu pula dengan sapaan yang menamparnya. Yang berusaha mengembalikannya ke sang elok dunia. Menghentaknya dan menantangnya untuk menatap kenyataan pahit yang menggunung. Ia bukan tak bisa. Ia bahkan selalu bisa. Sosok yang terkenal sangat kuat, tegar, mampu menggoyahkan setiap keinginan buruk yang menderanya. Tetapi, ia kini tak ingin. Bahkan jika itu hanya untuk sekedar menoleh dan memberikan kerlingan kecil pada sapaan-sapaan itu. Ia benar-benar muak, muak untuk menggariskan sebentuk senyum kecil untuk menyenangkannya. Membuat mereka puas karena keberadaannya yang dianggap.
Ia tak ingin menjadi terlalu sombong karena ulahnya. Sikapnya yang mengabaikan segalanya. Hanya memberikan teguran kecil pada apa yang memang dibutuhkannya. Tetapi, aku tahu, bukan itu yang ia mau. Bukan ia yang mengabaikan sekelilingnya. Ia tak pernah benar-benar melakukannya. Karena itu memang bukanlah ia yang sesungguhnya. Ia senang, karena ia akan terus membuat orang-orang yang ia anggap terlalu menipunya akan merasakan pilunya diputarbalikkan. Merasakan apa yang telah dilakukannya.
Ia terlalu nyaman dengan kegelisahannya. Ia merindukan apa yang disebut ketenangan. Bukan tenang yang dihasilkan tetesan hujan yang bulirnya menyeruak kedalam dinding-dinding kamar retak. Bukan tenang karena ia diliput dalam kesendirian yang amat dalam. Yang hanya menyisakan ia dengan melodi kesedihan yang ia buat bersama semburat awan malam. Bukan pula tenang meringkuk dalam satu ruangan hampa, memeluk kedua lututnya dan membiarkan tetesan air matanya dapat didengar bahkan berkilo-kilometer dari jangkauan dirinya. Terlalu tenang... Namun ia tak ingin sakit menghampirinya.
Ya, karena ketenangan yang ia ijinkan untuk dilaluinya, memang benar-benar ketenangan sejati. Saat ia tak merasakan sapaan-sapaan muncul kembali. Ketika harapan tak pernah lagi terlintas dan memaksanya untuk berontak.
Ketika, bahkan, nadi tak lagi berdenyut untuk menemani sepi seorang diri.
Ya, ia sangat menginginkannya, aku tahu itu. Bukan hujan, karena hujan tak bisa ia ciptakan. Bukan sepi karena ia tak sanggup sendirian. Ia menginginkan kematian. Mati, kematian dari lubuk hatinya. Mati, yang memang mematikan perasaannya, menghentikan ulahnya, menerobos masuk dan menutup pikirannya. Menggulirkan sebuah botol kaca yang kemudian pecah begitupun dengan isinya, jiwa yang sengaja terbelenggu didalamnya. Pecah berkeping dan tertawa setelahnya. Ia tak akan menyalahkan siapapun karena hal itu. Karena kematian tak pernah hadir untuk dipojokkan. Karena memang kematian tak pernah hadir. Seseorang itu bangkit dan memikirkan kembali perkataannya. Memang bukan ketenangan yang ia inginkan, tapi untuk menjadi mati, dan kematian tak pernah hadir untuk memojokkannya.
No comments:
Post a Comment