4.26.2015

Langit tak berbicara

Semburat merah muda di langit biru yang anggun, menggoreskan senyum riang sang penikmat alam. Semua menatap kagum terhadap apa yang diperlihatkanNya. Memandang takjub dengan apa yang ada dihadapannya. Biru, langit begitu biru ketika hamparan merah muda yang terasa amat halus berusaha menyandingnya. Sungguh, nikmat alam mana yang mampu menandingi keindahannya?
Perlahan aku menarik napas dalam, memejamkan mata sambil menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan. Hari sudah sore, saat dimana setiap insan yang lelah memutuskan untuk kembali ke pelukan alam yang melahirkannya. Mensyukuri apa yang telah dilaluinya. Dengan bangga, senyuman mengembang setelah berpuluh-puluh jam, beratus-ratus hari, dan kumpulan tahun yang mereka lalui kini telah menghadirkan hasil yang memang tak seberapa namun sesuai dengan yang diimpikannya. Puji Nama Tuhan, langit seolah membisikkan kata-kata bahagia, melihat orang-orang yang mengasihinya bisa tersenyum riang melihat keberadaannya. Langit terlalu mengharu hingga semburatnya digantikan dengan warna jingga yang hangat. Seolah masih ingin menyadarkan ribuan bahkan jutaan orang-orang yang dengan sombong tak mensyukuri apa yang didapatkannya.
Langit amatlah bijaksana. Ia tak pernah berbicara, bukan karena ia tak mampu, tapi ia tak mau. Hanya Tuhannya yang dapat memintanya. Hanya ia yang tau apa yang menjadi tugasnya.
Langit tak pernah berbicara. Ia hanya menunjukkan kelamnya langit saat ia marah. Ia telah lelah mendampingi kita yang selalu lupa akan cara bersyukur.
Langit tak pernah berbicara. Ia menampikkan amarahnya, saat semua umat manusia menghardik bumi, mencelakakan alam, menipiskan harapan semesta untuk tetap jaya. Menyingkirkan angan langit untuk tetap berseri seperti dulu.
Langit, kini pelangi langit berubah menghitam. Gelap. Tanpa harapan. Ia telah menyerah. Murka. Tapi ia tak pernah benar-benar marah. Ia selalu menghadirkan bintang, karena ia tahu apa yang diminta Tuhannya.
Pelangi langit dan segala keindahannya.