Begitu banyak kerikil yang bersandar di lapangan hitam. Kerikil yang rapuh diguyur hujan menahun lalu pecah ketika tak kuat menahan bagiannya yang perlahan melepaskan kekuatannya. Bukan hujan yang membuat kerikil pecah, bukan hujan yang membuat kerikil melepaskan kekuatannya untuk bertahan. Justru hujanlah yang menemaninya ketika kerikil lapuk dan berhambur.
Lalu, apa yang membuatnya seperti itu? Penat. Diterpa panasnya matahari dan dinginnya hujan yang terasa semakin lama makin menguatkan emosinya. Membuat kerikil menjadi semakin rapuh karena hilang segala kekuatannya. Lebih tepatnya habis. Habis karena terlalu lama menuruti ketenangannya. Mengijinkan hujan dan mentari menyerap energinya. Hingga ia kini hadirkan kelam.
***
Bimbang menyelimuti raga yang terlalu lama berpijak, pikirannya terus berputar mencari sampai kapan ia harus berdiri tegak. Jiwanya sudah tak mampu lagi, hilang tak berarah ketika ia mencoba untuk tetap mengikuti kemauannya. Yang ia lakukan hanyalah berjalan tanpa ia tau kemana ia menempuh semua waktu yang terbuang. Ia terlalu lelah untuk memikul setiap paksaan yang telah lama tak ia hiraukan. Ia sudah tidak terpaku pada tujuannya. Tujuan yang selama ini menahan ia untuk tidak bertindak bodoh. Namun, kenyataan lah yang mampu membedakannya. Saat ia telah lama melangkah untuk suatu tujuan dengan beribu paksaan dan godaan yang terbentang, saat itu juga ia menyerah. Dengan tidak berhenti pada satu titik tempatnya sempat berpijak. Tetapi berlalu dengan banyak hal bodoh yang dilakukannya. Terlalu banyak sampai ia tak tau apa yang harus dimaafkan darinya.
Kerikil kerikil itu telah lama diterpa panasnya matahari. Terlalu panas hingga sisa embun menguap dan lepas ke udara. Embun yang selama ini menyejukkan walau hanya sementara digantikan panas yang begitu mendera, menciptakan bayang-bayang di udara. Kerikil yang tersebar di hamparan lapangan hitam, bersama pasir dan batuan lainnya. Batuan yang tak licin namun dapat membuat orang tergelincir jika ia lalai. Batuan yang padat namun menyimpan panas di setiap titiknya.
***
Jenuh ? Lelah ?
Apa keduanya adalah hal yang harus dipertahankan? Apa keduanya malah sebagai penghambat yang harus dibuang? Sejenak, kejenuhan itu penting untuk mengingatkan orang orang tentang arti kebiasaan. Namun, justru jenuh juga membuat kau bertahan dalam suasana yang tidak menyenangkan. Saat saat itu muncul ketika kau sudah terlalu lama menjalankan kebiasaan yang sebenarnya mampu kau tolak karena kau sama sekali tak menginginkannya dan kau mulai menyadari bahwa lelah yang datang dan menghampiri adalah kelelahan sejati. Dimana kau sudah memutuskan untuk tak berdiri. Tak lagi memperjuangkan sesuatu yang bukan keinginanmu. Berontak, marah, bahkan tangis pun tak ayal menemani.
Ketika kau sudah terlalu larut dalam kebohongan yang kau rasa sudah tak mungkin lagi.
Saat itulah kau tahu, bahwa nyaman tak akan pernah tercipta, bahwa ia datang hanya karena terpaksa. Lalu, kau mencoba bangkit dan meneriakkan apa yang membuat kau muak. Kau bukanlah sosok yang lemah karena kau sudah lama bertahan dengan setiap cobaan yang disuguhkan, menikmatinya dengan sebuah senyum kemenangan. Meskipun sesungguhnya keberhasilan itu tak pernah dapat kau raih. Karena semua itu bukanlah keinginan hakiki. Kau mencoba, mencoba segala hal yang menyiksa. Menekan diri sendiri dan terus memaksa. Memaksa keadaan, memaksa pikiran, jiwa dan raga. Sampai kau tak mengerti lagi kapan kau akan berhenti memaksa dan menyadari, siapa kau dan mengapa kau bertahan.
No comments:
Post a Comment