30 menit kita disini tanpa suara..
Dan aku resah harus menunggu lama kata darimu..
Tik.. Tik..
Tetes air yang mulanya datang bergantian, secara serempak mengguyur tubuh yang semakin lelah berpijak. Menggetarkan setiap inci kulit yang terasa semakin dingin.
Sekilas, perempuan yang terbasuh oleh hujan, terlihat cantik dan anggun, apalagi saat buliran air mengalir melalui pelipisnya, membuat jalur keindahan. Membuatnya seakan satu-satunya puteri impian di bumi. Terlalu melebihkan memang. Tetapi inilah ia, yang terlihat dari luar. Air membasahi helai demi helai rambutnya yang dibiarkan tergerai. Menimbulkan kesan eksotis yang amat dalam.
Namun, apabila ada yang mengamatinya, dan mengerti apa yang dirasakannya. Jujur, kau pasti akan ikut menangis, walaupun hanya memperhatikannya. Ya, perempuan yang sedari tadi duduk termenung, membiarkan sebuah buku kecil dalam dekapannya. Seolah tidak ingin membuat buku itu lecet sedikitpun, seharusnya ia berlari menembus hujan, agar ia dan bukunya tidak terlalu basah. Tetapi yang dilakukannya hanyalah duduk. Dan buliran yang terdapat disudut matanya, perlahan jatuh..
Hujan, ya, ia sangat senang dengan kehadiran hujan. Karena saat itulah ia bisa menangis dalam diam, membiarkan hujan menemaninya. Mengguyur tubuh mungilnya. Menutupi tetesan air mata dengan ribuan tetes hujan. Yang membuatnya seakan seperti sesosok perempuan kuat, menahan dinginnya hujan yang menghempas, rambutnya terjuntai kedepan wajahnya, dan semakin lama ia menunduk. Menutupi amarah yang menyekapnya.
Ia menunggu, ya.. Telah lebih dari setengah jam ia menunggu.. Entah apa yang terlalu penting hingga membiarkannya menunggu..
Mungkin butuh kursus merangkai kata.. Untuk bicara
Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini.
Berlalunya waktu membuat perempuan tadi lambat laun tersadar. Mengangkat wajahnya namun tidak sedikitpun beranjak pindah dari posisinya. Rinai hujan kini melunak. Tak lagi sederas sebelumnya. Ia terlihat membuka halaman terakhir bukunya, mengambil pensil lucu berwarna hijau dikantong jaketnya. Membukanya dan lalu mencoba menggambar sesuatu disana.
Ia tenang, tak lagi menangis seperti tadi. Seolah bebannya telah larut bersama hujan yang sebelumnya menemani. Menciptakan bekas tetesan air disisi buku yang tak luput dari hujan. Ia menggambar, karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengungkapkan emosi apapun dalam dirinya. Yang menyergapnya. Yang hanya bisa ia lukiskan dengan goresan tangan lembutnya.
Jam dinding pun tertawa karena ku hanya diam dan membisu..
Ingin ku maki diriku sendiri.. Yang tak berkutik didepanmu.
Ia menuntaskan goresannya yang perlahan mulai melambat. Membubuhkan tanggal dipojok kanan gambarnya. Mengisahkan apa yang dirasakannya pada hari itu. Ia melirik ke arah sebuah menara ditengah taman tersebut. Pukul 16 tepat, ya, jam dinding di menara itu baru saja mendetingkan suaranya, mengingatkan ia yang sudah terlalu larut dalam bebannya.
Jikalau ia bisa mengungkapkan perasaannya semudah ia menggoreskan pensilnya dengan indah. Sungguh, ia tak akan menjadi gila seperti ini. Ia terlalu dibuat gila oleh semua orang. Orang-orang disekitarnya, dan juga nama orang yang terdapat dalam hatinya. Nama yang terus mendengungkan arti kebahagiaan, namun seolah pudar dengan kesesakan bibirnya yang tak mampu berucap. Ia hanya bisa terpaku.. Membiarkan tangannya yang berkata, meskipun hanya ia yang bisa tau makna dari gambar yang ia buat. Yang hanya bisa dipuji oleh orang-orang disekitarnya, yang tak mampu dirasakan oleh orang yang terdapat dibelenggu jiwanya.
Ada yang lain disenyummu, yang membuat lidahku gugup tak bergerak.. Ada pelangi dibola matamu.. Yang memaksa diri tuk bilang.. Aku sayang padamu..
Ia menarik nafas panjang, mengisyaratkan dirinya yang telah lelah melalui kehidupannya yang monoton. Menggambar dan terus menggambar. Tanpa ia bisa mengatakan sejujurnya. Tanpa ia bisa mengetahui isi hati orang disekitarnya. Ia bisa dikatakan terlalu egois. Membuat orang disekitarnya menerka apa yang sedang dirasakannya. Meneba-nebak apa yang diinginkannya. Sedangkan ia tak sekalipun terlihat peduli dengan sekitar. Dan menjawab semua pertanyaan dibenak orang disekitarnya dengan kebisuan.
Perlahan, ia menutup matanya, menengadahkan wajahnya ke atas.. Membiarkan rambutnya terhempas angin. Merasakan sejuknya angin yang ia harap, seseorang yang jauh disana mampu merasakan apa yang ia rasakan. Sejuknya angin.. dan isi hatinya. Yang kini ia rasakan semakin perih.
Ah... Lagi-lagi sama saja, hanya senyumannya yang dapat ia bayangkan. Air mata kembali turun kala matanya tetap tepejam. Air mata yang tulus. Sosok lelaki yang sama sekali tak pernah melukai hatinya, lalu mengapa ia menangis kini? Ia terlalu lemah? Hingga perasaannya pun dianggap masalah untuknya? Ia menghardik dirinya terlalu keras, memaki diri sendiri terlalu lama. Ya, itulah alasan sebenarnya mengapa ia menangis. Ia bahagia dengan kehadiran sosok lelaki yang kini setia menemaninya. Tetapi, ia yang terlalu bodoh, senyuman tulus yang lelaki itu berikan, tak mampu membuatnya jujur dan terbuka padanya. Menjelaskan apa yang selama ini mengganggunya. Padahal, lelaki tadi senantiasa ada disampingnya, karena ingin membantunya. Karena tak ingin ia berada dalam kesulitan yang selalu dianggapnya tak ada.
Mungkin suatu nanti ku ungkap semua.. Isi dihati. Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini..
Jam dinding pun tertawa karena ku hanya diam dan membisu ingin ku maki diriku sendiri.. Yang tak berkutik didepanmu.
Ada yang lain disenyummu.. Yang membuat lidahku gugup tak bergerak. Ada pelangi di bola matamu.. Seakan memaksa dan terus memaksa..
Ada pelangi...
Ada yang lain di senyummu yang membuat lidahku gugup tak bergerak, ada pelangi di bola matamu.. Yang memaksa diri tuk bilang.. Aku sayang padamu..
Entah harus berapa lama lagi ia menunggu dirinya yang bodoh bangkit dari keterpurukan. Meneriakkan apa yang ada di lubuk hatinya. Memaksa orang lain untuk ikut merasakan apa yang menyekapnya.
Perempuan itu menutup bukunya, beranjak berdiri dari bangkunya. Menyunggingkan senyum kecil diwajahnya. Ia ingin sekali berlari. Lari dari taman kecil yang sedari tadi menjadi saksi keterpurukannya. Berlari dari harapan yang telah ia kubur dalam benaknya. Berlari dan terus berlari.. Dari kenyataan. Itulah yang ia ingin lakukan. Hal bodoh yang hanya bisa membuyarkan emosinya sesaat. Karena itu.. Entah kekuatan dari mana.. Ia berjalan, melangkah menyusuri jalan panjang dihadapannya. Membelai setiap ilalang yang berjajar disampingnya. Semakin ia melangkah.. Senyumnya semakin nyata.. Untuk itulah ia ingin mencoba mengatakan yang sebenarnya..
Aku sayang padamu...
No comments:
Post a Comment