2.17.2014

Tak Sehebat Bunga

Menjelang terik, sesosok bayang yang biasa disebut sang Mentari tiba - tiba tenggelam oleh Kabut gelap yang semakin legam. Kabut yang awalnya bergerak perlahan, menghapus cahaya terang mentari. Kilaunya yang sedari pagi bangkitkan seluruh jiwa makhluk Tuhan yang setia, kini pudar dan semakin hilang. Ya, meskipun setiap jiwa punya berbagai ekspresi yang dihasilkannya tuk sambutan hangat Mentari, tetapi yang Alam tau, mereka percaya dengan Mentari, mereka bahagia karena Mentari.

Namun, kadang jika Mentari terlalu lelah, ia marah, marah yang tak tentu arah, marah karena ia tak pernah mendengar rasa syukur manusia yang dilindunginya, lelah karena ia harus terus bertahan tanpa manusia tau apa yang menjadi beban berat Mentari, jika manusia telah sampai batas untuk mengabaikannya.
Inilah saat Kabut gelap tak bertuan datang tuk menemaninya, Mentari berubah, berubah menjadi tak bermakna, tak ada untuk menghangatkan setiap jiwa manusia yang rindu akan sinarnya. Meskipun begitu, Mentari tak pernah hilang, Mentari yang kini ditemani Kabut yang lambat laun dikenalnya turun sebagai Hujan, tetap melihat dan merasakan jutaan bahkan miliaran umat manusia tak hentinya mengeluh, membuat mentari tak tahu lagi, apa yang harus diperbuatnya.
Hujan yang turun tak lagi semurni dahulu, kala Awan dan Mentari senang bahkan bahagia menjalankan tugasnya, menghidupi dengan kecukupannya, menghirup segar lautan rasa syukur manusia yang menyadari keberadaannya.
Haha.. Berbeda dengan sekarang, Awan tak mampu lagi membendung luapan tangis mentari, panas terik, awan hitam, badai, segala kemurkaan Mentari ia lalui, karena ia tak mampu lagi bertahan dengan keadaan.
Mentari yang dahulu selalu terlihat kuat menopang kehidupan, bahkan kini berharap musnah jika ia bisa meminta. Ya, ia bisa. Namun ia tak mampu. Ia akan kehilangan kebahagiaan jika ia melepas tugas yang selama ini dijalaninya. Tak bisa ia diam begitu saja, juga tak bisa ia menolak dengan semerta.
Ada satu rahasia yang dimiliki Mentari, ia begitu kagum dengan hadirnya sesosok kecil, yang tak terlalu dipandang manusia, tak selalu dianggap ada, kadang dihina karena ia tak begitu sempurna, ada juga menganggapnya sangatlah berharga, yap Mentari selalu beranggapan begitu padanya. Ialah Bunga, kecil, manis, harum, indah, dan berwarna..
Sungguh jika ia boleh memilih, ia ingin sekali dapat menjadi Bunga, setangkai kecil yang dirawat baik dengan tangan - tangan manusia di Bumi. Menjadikannya bak putri yang tak ingin sedikitpun luka menghinggapinya. Bahkan satu gores pun tidak.
Bunga yang bertahan dikala Mentari teguh dengan amarahnya, saat Hujan berhembus dengan tanpa kesabaran. Saat tanah yang menjadi pijakannya bergoncang begitu hebat, ia tetaplah tegar. Ia tetap berusaha tampil sempurna, menutupi kekurangan yang tak pernah ia inginkan.
Bukan, bukan ia tak ingin, bukan ia tak bersyukur ia diciptakan, ia sungguh sangat bersyukur dan itulah yang membuatnya seolah kekal, menjadi Bunga abadi yang tak pernah menyesal. Tak marah bila Mentari hilang, tak menyerah bila Badai menerjang.
Bunga, yang tumbuh menjadi lambang kasih dan sayang.. Persembahan umat manusia diantara lawan jenisnya.
Mentari amat ingin menjadi indah sepertinya, inilah alasan, mengapa Mentari tetap sabar menanti kesadaran Bumi beserta isinya, untuk bisa kembali menghargainya, menjadikannya sosok yang dicintai. Memahami keadaannya.

No comments:

Post a Comment